KOMPASPOPULARNEWS – Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa (3/12/2024) menjatuhkan hukuman penjara 5 bulan kepada Ike Farida setelah terbukti bersalah melakukan tindak pidana sumpah palsu yang melanggar Pasal 242 ayat (1) KUHP.
“Memutuskan menyatakan Ike Farida bersalah melakukan tindak pidana sumpah palsu, menghukum Ike Farida 5 bulan penjara,” kata ketua Majelis Hakim, Selasa (3/11/2024).
Majelis Hakim PN Jakarta Selatan menjatuhkan putusan yang lebih ringan dibandingkan tuntutan JPU, yaitu 1 tahun 6 bulan penjara. Putusan ini menegaskan bahwa tindak pidana sumpah palsu melalui kuasa hukum yang didakwakan Penuntut Umum terbukti kebenarannya.
Menanggapi putusan tersebut, Ike Farida langsung menyatakan banding. “Yang Mulia saya akan menyatakan banding.” Kata Ike Farida.
Putusan tersebut menjadi bukti bahwa keterangan saksi fakta dan keterangan ahli yang dihadirkan penuntut umum di dalam persidangan ini telah dijadikan pertimbangan ketika majelis Hakim menetapkan keputusan.
Dalam pertimbangannya, majelis mengindikasikan bahwa antara terpidana dan mantan kuasa hukumnya telah bekerjasama dalam pengajuan novum dan kemudian dilanjutkan dengan sumpah novum, dan keduanya adalah advokat yang paham hukum.
Di luar ruang sidang, puluhan massa yang mengatasnamakan Solidaritas Rakyat Peduli Hukum (SRPH) sambil membentangkan spanduk yang bertuliskan “Tegakkan Hukum Pelaku Sumpah palsu.”
Aksi massa Solidaritas Rakyat Peduli Hukum mendesak majelis hakim agar tidak terpengaruh oleh upaya penggiringan opini yang dilakukan pihak Ike Farida. Mereka juga meminta majelis hakim memutus perkara berdasarkan fakta hukum yang disampaikan oleh saksi fakta dan keterangan asli selama proses pemeriksaan.
“Kami meminta agar majelis hakim memutus sesuai dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan dan tidak termakan opini yang dikembangkan oleh pihak terdakwa yang selalu menyudutkan kepolisian, kejaksaaan dan hakim,” ujar Fandi, perwakilan massa SRPH saat berorasi di depan PN Jaksel.
Sementara itu, kepada wartawan penasehat hukum Agustrias Andhika mengungkapkan kekecewaannya atas vonis bersalah dari majelis Hakim dan akan melakukan banding.
“Kami pastikan akan melakukan banding, karena Ike Farida tidak pernah hadir di pengadilan dan tidak pernah diambil sumpahnya, semua sumpah dilakukan oleh kuasa hukumnya,” ujar Agustrias.
Baca juga: Menko Pangan Zulhas, Satu Desa Satu Penyuluh Pertanian
Melihat kilas balik, perkara ini telah berlangsung selama 12 tahun. Dimulai pada 26 Mei 2012, Ike Farida membeli satu unit apartemen Casa Grande Residence menggunakan surat pesanan dan membayar Rp10 juta sebagai uang muka. Kemudian, pada 30 Mei 2021, Ike Farida melunasi pembayaran senilai Rp3,04 miliar.
Namun, pengembang menolak membuat PPJB dan AJB untuk Ike Farida karena ia bersuamikan WNA asal Jepang dan tidak memiliki perjanjian perkawinan pisah harta.
Baca juga: Menko Zulhas, Kunci Swasembada Pangan soal Pembangunan Irigasi Harus Menjadi Prioritas
Berdasarkan ketentuan hukum saat itu, WNI yang menikah dengan WNA harus memiliki perjanjian pisah harta untuk membeli aset di Indonesia. Dasar hukumnya mencakup Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Pasal 3 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 103 Tahun 2015, serta Pasal 70 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021.
Pada tahun 2015, Ike Farida menggugat pengembang ke PN Jakarta Selatan, tetapi gugatannya ditolak. Ia kemudian mengajukan banding pada tahun yang sama, namun hasilnya tetap kalah.
Pada tahun 2017, Ike Farida dan suaminya, seorang WNA asal Jepang, membuat perjanjian perkawinan pisah harta yang diaktakan oleh Notaris Cahriani, SH., M.Kn. Perjanjian tersebut diajukan sebagai bukti di tingkat banding, namun banding Ike Farida tetap ditolak. Hal yang sama terjadi pada tingkat kasasi, di mana permohonannya juga tidak dikabulkan.
Ike Farida tidak puas, lalu mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Dalam Persidangan PK tanggal 4 Mei 2020 dilaksanakan pengambilan sumpah penemuan bukti baru atau Novum yang dilakukan Kuasa Hukum Ike Farida berdasarkan surat kuasa khusus dari Ike Farida tertanggal 22 Februari 2020.
Advokat dilindungi UU Advokat untuk bertindak atas nama pemberi kuasa. Oleh karena itu, pertanggungjawaban hukum atas sumpah novum tersebut terletak pada pemberi kuasa yaitu Ike Farida.
Setelah putusan bukti baru atau novum yang diajukan dalam PK tersebut ternyata adalah berupa : (1) pencatatan pelaporan akta perjanjian perkawinan No. 5 tanggal 25 April 2017 yang telah dicatatkan pada halaman belakang buku nikah yang sudah sudah pernah digunakan dalam sidang banding tahun 2017 ( sebagai bukti P7 Banding), (2) Surat Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertanahan DKI Jakarta No.107/-1.785.51, tertanggal 11 Februari 2020, dan (3) Surat Badan Pertanahan Nasional DK Jakarta No. 3212/7.31.200/XI/2015, tertanggal 27 November 2015.
Dalam sumpah dimuka sidang yang dilakukan oleh Ike Farida melalui kuasanya dinyatakan bahwa novum tersebut belum pernah digunakan pada perkara sebelumnya, namun kenyataannya ketiga bukti tersebut sudah pernah digunakan.
Berdasarkan fakta tersebut, maka patut diduga Ike Farida telah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 242 KUHP dan/atau Pasal 263 KUHP dan/atau Pasal 266 KUHP tentang dugaan tindak pidana memberikan keterangan palsu dan/atau pemalsuan dan/atau menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam akta autentik, dengan ancaman hukuman hingga 7 tahun penjara.
Atas dasar ini, pada 24 September 2024 pengembang melaporkan terdakwa Ike Farida ke Polda Metro jaya (LP/B/4738/IX/2021/SPKT/Polda Metro Jaya).
Kesaksian mantan Kuasa Hukum Ike Farida, Nurindah MM Simbolon, SH., L.LM
pada Senin (25/10/2024), saksi Nurindah menyatakan bahwa memori Peninjauan Kembali yang menyertakan tiga bukti baru merupakan hasil pembahasan dan persetujuan dari Ibu Ike Farida sebelum diajukan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan Nurindah hanya mewakili Ibu Ike berdasarkan surat kuasa yang diberikan kepadanya.
Kuasa hukum Nurindah, Lammarasi Sihaloho dan Bambang Ginting kepada media, Jumat (25/10/2024) bahwa sebagai Advokat baru di kantor Farida Law Office, mana mungkin Nurindah berbuat tanpa izin dan persetujuan Ike Farida sebagai Advokat senior sekaligus bos di kantor Farida Law Office.
Pihak Nurindah heran mengapa Ike Farida mau mengakui hasil kemenangan Peninjauan Kembali tetapi tidak mau mengakui prosesnya. Pihak Nurindah juga menyayangkan Ike Farida lepas tangan dan ingin mengkambinghitamkan Nurindah.
Dalam kesaksiannya pada Rabu, 30/10/2024, saksi ahli digital forensik, Saji Purwanto, SH., MCFE., OSFTC., ACE., CHFI., ECSA, menyatakan bahwa pihaknya memeriksa barang bukti elektronik yang disita dari saksi Nurindah Melati Monika Simbolon, SH., L.LM termasuk telepon genggam.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengungkap percakapan antara Nurindah dan Ike Farida selama periode Februari hingga Desember 2020, yang terkait dengan pengajuan memori peninjauan kembali dan sidang sumpah novum yang diwakili oleh Nurindah.
Dalam percakapan WAG tergambar bahwa Nurindah, selaku kuasa hukum Ike Farida pada saat itu secara rutin memberikan laporan, meminta pendapat dan meminta persetujuan terkait langkah-langkah yang akan atau telah dilakukannya sehubungan dengan pengajuan peninjauan kembali dan sidang sumpah novum.
Nurindah selalu berkoordinasi dan minta persetujuan kepada seseorang yang dipanggil Sensei (dalam bahasa Jepang berarti guru). Sensei ini juga terdengar sebagai sosok pimpinan yang mengontrol setiap tindakan Nurindah. Ahli menyebut bahwa Sensei ini tidak lain adalah terdakwa Ike Farida.
Ahli pidana, Prof. Dr. Suhandi Cahaya, SH., MH., MBA, dalam kesaksiannya menjelaskan kepada Jaksa mengenai makna Pasal 242 KUHP dalam kasus sumpah palsu. Menurutnya, yang dapat dipidana berdasarkan pasal tersebut adalah orang pribadi atau orang yang menyuruh kuasanya untuk melakukan perbuatan tersebut. Ahli juga menguraikan doktrin unsur pemidanaan, yang mencakup opzet (kesengajaan), actus reus (perbuatan salah), dan mens rea (niat jahat).
Dalam kasus sumpah palsu Ike Farida unsur pemidanaan tersebut dimulai ketika Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tidak bisa dilaksanakan. Kemudian, pengembang berniat mengembalikan uang yang telah dibayarkan, dan bahkan telah mengajukan konsinyasi ke PN Jakarta Timur dan dikabulkan.
Namun, Farida malah melaporkan pengembang ke polisi dengan tuduhan penggelapan dan dihentikan, karena tidak ada unsur pidana (SP3). Farida mengirim somasi sebanyak tiga kali dan berlanjut menggugat pengembang dengan tuduhan wanprestasi hingga perkaranya berlanjut sampai hari ini.
“Jadi tadi sudah saya terangkan di depan sidang, bahwa katanya upaya hukum, kalau saya bilang itu suatu mens rea (niat jahat), ngasih somasi tiga kali berturut-turut tiga minggu, yang kedua laporin pidana di SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) karena tidak ada bukti adanya delik pidana, yang ketiga pihak pengembang menitipkan uangnya ke PN Jakarta Timur kemudian dibantahnya (Ike Farida) gak mau ngambil, yang keempat dia menggugat perdata, yang kelima terjadinya PK dengan novum yang seolah-olah baru ditemukan. Apa itu bukan mens rea? katanya itu upaya hukum, tapikan itu menyerang habis dengan berbagai cara,” kata Prof. Suhandi kepada Wartawan, Kamis (31/10/2024).
Perkara ini berkembang menjadi laporan pidana sumpah palsu, karena sumpah novum yang dilakukan Nurindah tersebut menyertakan novum Surat Kanwil BPN DKI Jakarta Nomor 3212 tertanggal 27 November 2015 yang sudah pernah digunakan pada perkara sebelumnya di PN Jakarta Selatan dan tertera dalam salinan putuşan PN Jakarta Selatan tahun 2015 yang dituliskan sebagai bukti P-65.
Selain itu, sumpah novum juga menyertakan novum pencatatan pelaporan akta perkawinan pisah harta antara Ike Farida dan suaminya pada tahun 2017 yang sudah pernah digunakan sebagai bukti dalam upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Sementara itu, ahli pidana Komjen Pol (Purn) Susno Duadji dalam kesaksiannya, Kamis, 7/11/2024 menjelaskan bahwa surat arahan hasil gelar perkara khusus Ike Farida hanya untuk kepentingan internal institusi kepolisian dan penyidik yang sedang menangani perkara, yang perlu diperhatikan dalam hasil gelar perkara khusus adalah pada bagian rekomendasinya.
Kemudian ahli juga menanggapi pertanyaan kuasa hukum Ike Farida, Alya Hiroko, yang meminta ahli menjelaskan status surat Komnas HAM dan Komnas Perempuan kepada penyidik yang menyebutkan bahwa tindakan penyidik telah melanggar HAM.
Susno menyatakan, jika penyidik menerima surat dari instusi lain di luar kepolisian yang menyatakan tindakan penyidik melanggar HAM, maka penyidik sebaiknya berkonsultasi dan minta arahan kepada atasannya, bisa Direskrim atau Kapolda langsung.
“Secara hukum, penyidik bertindak independen dan tidak boleh menerima intervensi dari pihak mana pun,” tegas Susno.
Di samping itu, Susno juga menanggapi pertanyaan dari terdakwa Ike Farida yang menanyakan status penetapan tersangka, penyitaan barang bukti dan penangkapan yang diduga bermasalah. Susno mengatakan bahwa penetapan tersangka, penyitaan barang bukti dan penangkapan merupakan objek pra peradilan yang bisa diuji keabsahannya, jika belum pernah diuji maka bisa dimintakan pendapat kepada Majelis Hakim dan Majelis Hakim yang akan memutuskan.
Dalam persidangan, Ike Farida mengemukakan alasan bahwa ia tidak memahami persyaratan PK, yaitu adanya novum dan sumpah novum. Hal ini menjadi sorotan mengingat Ike Farida memiliki latar belakang pendidikan hukum dan menjalankan firma hukum, namun mengaku tidak mengetahui perlunya sumpah untuk menyatakan bukti baru.
“Saya tidak pernah menghadiri persidangan dari tingkat pertama sampai dengan PK, jadi saya tidak mengetahui bukti apa saja yang sudah digunakan sebelumnya. Nurindah dan Yahya sudah kami laporkan kepada Peradi karena diduga melakukan pelanggaran etik. Yang Mulia, terus terang saya banyak belajar dari kasus ini. Selama ini saya tidak begitu paham beracara litigasi,” kata Farida di hadapan Majelis Hakim PN Jaksel.
Keterangan Ike Farida tersebut dibantah oleh Yahya, mantan rekanan Ike Farida di Farida Law Office yang juga suami dari saksi Nurindah.
“Ibu Ike Farida adalah orang yang teliti dan selalu memeriksa setiap dokumen yang akan digunakan, dan ada grup whatsap bersama antara kuasa hukum dengan Ike Farida, jadi semua hal pasti dibicarakan bersama dengan Ike Farida,” kata Yahya, mantan Lawyer Ike Farida dalam kesaksiannya, Selasa (28/10/2024).