Untuk mengatasi hal tersebut, pihak satuan pendidikan dan komite sekolah melakukan penggalangan dana dari orang tua/wali peserta didik.
Namun, tak jarang orang tua/wali peserta didik mempertanyakan apakah penggalangan dana tersebut merupakan pungutan atau bukan.
Pemerintah telah mengatur mengenai penggalangan dana dari orang tua/wali peserta didik melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah (Permendikbud 75/2016).
Pada Pasal 10 ayat (2) ditegaskan, Komite hanya memiliki kewenangan untuk menggalang dana dalam bentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan melakukan pungutan. Aturan ini menjadi pedoman bahwa sistem penggalangan dana dengan cara pungutan tidak boleh dijalankan karena bersifat memaksa.
Pengertian pungutan adalah tindakan penarikan uang oleh pihak sekolah kepada peserta didik, orang tua/walinya yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan, sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (4) Permendikbud 75/2016.
Jelas dari ketentuan Pasal 1 ayat (4) tersebut bahwa ada perbedaan antara pungutan dengan sumbangan. Perbedaan tersebut terletak pada sifatnya, di mana sumbangan bersifat sukarela, sedangkan pungutan bersifat wajib dan mengikat.
Karena itulah, pungutan ini disebut sebagai pungutan liar (pungli), karena termasuk dalam bentuk penggalangan dana yang dilarang diterapkan dalam sistem pendidikan Indonesia, atau bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Permendikbud 75/2016.
Meski begitu, tidak semua penggalangan dana yang dilakukan pihak sekolah bersama komite sekolah merupakan pungli. Sebab, bisa saja penggalang dana tersebut sebagai bentuk dari bantuan atau sumbangan yang bersifat sukarela. Lantaran dua macam sistem penggalangan dana tersebut tidak bertentangan dengan Permendikbud 75/2016.
Ketentuan Pasal 1 ayat (3) Permendikbud No. 75/2016 menyebutkan, bantuan adalah pemberian berupa uang/barang/jasa oleh pemangku kepentingan satuan pendidikan di luar orang tua/wali peserta didik dengan syarat yang disepakati para pihak.
Kemudian pada Pasal 1 ayat (5) Permendikbud 75/2016 disebutkan, bahwa sumbangan adalah pemberian berupa uang/barang/jasa oleh peserta didik, orang tua/walinya baik perorangan maupun bersama-sama, masyarakat atau lembaga secara sukarela, dan tidak mengikat satuan pendidikan.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan ayat (5) Permendikbud 75/2016, maka bantuan dan sumbangan boleh diterapkan di lingkungan satuan pendidikan.
Melansir laman ombudsman.go.id,
pembatasan pungutan pada lingkungan sekolah karena satuan pendidikan tingkat dasar sudah mendapatkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Besar dana BOS peserta didik tingkat SD sebesar Rp 800.000/siswa/tahun. Kemudian pada tingkat SMP sebesar Rp 1.000.000/siswa/tahun. Sedangkan pada tingkat SMA sederajat sebesar Rp 1.400.000/siswa/tahun.
Dana BOS ini disalurkan setiap tiga bulan, yakni periode Januari-Maret, April-Juni, Juli-September dan Oktober-Desember.
Ada 13 komponen yang dibiayai oleh dana BOS yakni: pengembangan perpustakaan; kegiatan penerimaan peserta didik baru; pembelajaran dan ekstrakurikuler; ulangan dan ujian; pembelian bahan habis pakai; langganan daya dan jasa; perawatan/rehab dan sanitasi; pembayaran honor bulanan; pengembangan profesi guru dan tenaga kependidikan; membantu siswa miskin; pengelolaan sekolah; pembelian dan perawatan komputer; dan biaya lainnya.
Biaya lainnya yang dimaksud misalnya pembelian peralatan UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) dan darurat bencana.
Ada beberapa bentuk-bentuk pungutan di sekolah, baik pungutan resmi maupun pungutan liar. Pungutan resmi adalah pungutan yang memiliki dasar hukum dan tidak melanggar peraturan yang ada, sementara pungutan liar (pungli) adalah pungutan yang tidak memiliki dasar hukum meski telah didahului dengan kesepakatan para pemangku kepentingan. Karena pada dasarnya kejahatan juga bisa dilakukan melalui sebuah kesepakatan dan pemufakatan (pemufakatan jahat).
Beberapa pungutan dilakukan sejak tahap pendaftaran masuk sekolah, kegiatan belajar mengajar hingga lulus sekolah.
Adapun pungutan yang sering dilakukan saat pendaftaran sekolah seperti uang pendaftaran, uang bangku sekolah, uang baju sekolah, uang daftar ulang dan uang bangunan.
Sementara pungutan yang sering dilakukan saat kegiatan belajar mengajar di sekolah adalah uang SPP/uang komite, uang les, uang buku ajar, uang LKS, uang ekstrakurikuler, uang OSIS, uang study tour, uang perpustakaan, uang pramuka, uang PMI, uang kalender, dana kelas, uang koperasi dan uang denda tidak mengerjakan PR.
Selain itu, pada tahap jelang lulus sekolah, terdapat berbagai pungutan seperti uang try out, uang bimbingan belajar, uang perpisahan, uang foto dan uang membeli kenang-kenangan.
Pemberantasan pungli di lingkungan sekolah dapat dilakukan dengan dua cara, yakni pencegahan dan penindakan.
Pencegahan dapat dilakukan dengan menempuh berbagai cara, seperti melakukan sosialisasi praktik-praktik pungli di sekolah, menegakkan norma-norma kesusilaan di sekolah, mempraktikkan tata kelola sekolah berintegritas, menghindari penyimpangan anggaran, dan mengupayakan transparansi pengelolaan anggaran sekolah. Sedangkan penindakan dilakukan dengan cara menjerat para pelaku pungli sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sanksi pidana bagi pelaku pungli di lingkungan sekolah.
Hukuman pidana bagi pelaku pungli bisa dikenakan Pasal 368 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 9 (sembilan) bulan. Sementara itu, pelaku pungli berstatus PNS dapat dikenakan Pasal 423 KUHP, dengan ancaman maksimal 6 (enam) tahun penjara.
Pelaku pungli juga dapat dikenakan hukuman berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Pemberantasan Tipikor), khususnya Pasal 12 E, dengan ancaman hukuman penjara minimal 4 (empat) tahun dan maksimal 20 (dua puluh) tahun.[kpn/red]